Kemanakah roda organisasi Da- pen di Indonesia ini berjalan? Apakah menuju kemajuan progresif, ataukah menuju ke-matian secara bertahap? Pasti jawaban optimistik akan mengarah bahwa tidak mungkin sebuah regulasi dirancang untuk menyiapkan prosesi kematian. Namun yang terbiasa dengan mitigasi risiko, se- buah kebijakan pasti ada dampak positif maupun negatif.
Di luar konteks negatif positif, mari kita diskusikan sejenak kira-kira nasib Dana Pensiun selepas disahkan UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan danPenguatan Sektor Keuangan.
Penulis mencatat setidaknya ada 5 (lima) situasi masa depan Dapen teruta- ma jika kita bandingkan dengan kondisi riil di lapangan.
1. Dapen VS Asuransi Penyedia Anuitas
Arif Hartanto (2023) mencatat bah- wa sejatinya kita perlu menyambut gembira atas UU ini. Sebab, UUPPSK mengatur masalah pembayaran manfaat pensiun, di mana Dapen tidak wajib lagi untuk membeli Anuitas dari Perusahaan Asuransi. Khususnya PPIP (Program Pensiun Iuran Pasti), ini menggembirakan sebab selain MP dapat dibayarkan secara lumpsum (Manfaat Pensiun Sekaligus), juga dapat dicicil bulanan sebagaimana formula Anuitas dan jadinya PPIP akan menjadi mirip Dapen PPMP dalam pembayaran MP Bulanan, meskipun pembayarnya adalah tetap DPPK (Dana Pensiun Pemberi Kerja). Di sisi lain, jika Dapen adalah skema PPMP (Program Pensiun Manfaat Pasti), yang selama ini membayarkan secara langsung MP Bulanan, maka realitas di lapangan menunjukkan adanya fenom- ena pengakhiran kepesertaan Dapen (biasanya Mitra Pendiri mulai mundur satu satu), dan condong akan memindah- kan pembayaran bulanannya ke Anuitas Asuransi. Problem muncul ketika penetapan bunga aktuaris oleh Pendiri, jauh melebi- hi besaran pengembangan investasi di lapangan. Ketika pembayaran MP dip- indahkan ke Anuitas, maka ada besaran lumpsum yang harus dibayarkan oleh Dapen, untuk pengakhiran kepesertaan Dana Pensiun. Kendala lagi-lagi di asumsi atau penetapan bunga aktuaris.
Dengan demikian, UU ini belum menjawab adanya penetapan besaran pengembangan investasi yang wajar, yang menjamin Dapen akan lebih nya- man membayarkan Manfaat Pensiun bulanan, baik melalui Anuitas maupun langsung oleh Dapen.
Sebagaimana diketahui, jika bunga aktuaris terkoreksi semakin rendah, sementara pengembangan investasi juga masih rendah, maka akan timbul risiko bagi Pendiri untuk membayarkan Iuran Tambahan yang semakin besar. Di sisi lain, bunga aktuaris yang tinggi akan “merepotkan” Dapen dalam mengejar target pengembangan investasi.
2. Dapen VS Pendiri Dalam Hal Ekualiti Tritmen
Adakah equality treatment terhadap Dapen sebagai entitas organisasi dalamstruktur organisasi Pendiri? Dapen adalah entitas independen, yang didirikankhusus oleh Pendiri dan Mitra Pendiri,untuk menjamin kesinambungan pembayaran Manfaat Pensiun secara tepat
guna, waktu, besaran, dan tepat sasaran.Dapen, sejatinya, bukan organisasi profityang diwajibkan untuk mendapatkanmargin tertentu, atau target RKAP (Ren
cana Kerja Anggaran Perusahaan) yang mewajibkan pertumbuhan revenueprofit bagi anak perusahaan, atau subholding dan afiliasi.
Namun dalam kenyataannya, Dapen tetap ditargetkan untuk mendapatkanpengembangan investasi sehingga tidaktergantung kepada iuran normal daniuran tambahan.
Di sisi lain, standar kinerja dan sykompensasi (baca: remunerasi) sangatberbeda dengan anak perusahaan atausub holding lainnya. Sebagai misal, pada tahun 2023 ini
masih ditemukan remunerasi Pengurusyang mengacu kepada Peraturan DanaPensiun (PDP) yang disahkan pada tahunyang lama sekali. Penyesuaian denganinflasi dan standar gaji peer group (organisasi sebaya), juga tidak ada evaluasisama sekali.
Apakah selepas UU ini hal teknis akan menjadi perhatian sehinga semua akan bergerak progresif maju? Masih perlu jawaban lebih lanjut.
3. Kualitas SDM Dapen VS Pendiri
Pernah penulis sampaikan adanya urgensi monostatus pegawai Dapen,dalam konteks adanya aspirasi agar kualitas SDM Dapen juga akan mengimbangi kualitas SDM Pendiri.
Dengan monostatus, maka Pengurus Dapen akan lebih fleksibel untuk mengadakan pembinaan,
pelatihan, dan penyesuaian dalam hal pengukuran kinerja beserta systemrewards dan punishment.
Dalam kenyataannya, sering dijumpai bahwa SDM Dapen kurang mendapatkan perhatian dari Pendiri. Lagi-lagi system remunerasi pegawai Dapen masih perlu banyak penyesuaian, bahkan
Ditemukenali karir pegawai Dapen belum ada celah untuk lintas organisasi(crossectionalcareer)
di antara anak Perusahaan atau afiliasi Pendiri.Tidak dipungkiri, banyak SDM Pendiri yang enggan ditempatkan diDapen,karena banyak hal dimaksud Sementara,tuntutan kinerja organisasi Dapensemakin tinggi.Apakah UU terkini dimaksud juga akan dapat menjawab permasalahan ini? Masih penuh Tanya.
4. Siapakah Bapak Pembina Dapen?
Sebenarnya siapakah Bapaknya Dapen itu? Apakah Kementrian BUMN, Kementrian Keuangan, atau Otoritas Jasa Keuangan? Dalam hal Laporan kinerja bulanan, triwulan, semester, selain Laporan ke Pendiri, selama ini juga kepada Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK). sebenarnya dapat dikatakan bahwa Bapak Pembina Dapen adalah OJK. Dengan statemen beberapa waktu yang lalu bahwa Dapen sarang korupsi dan hanya 35% Dapen milik BUMN yang tertib administrasi, maka diadakan duediligence pemeriksaan tingkat kesehatanDapen oleh Kementrian BUMN. Inisiatif positif dari KementriBUMN ini layak dismabut gembira,bahwa ternyata Dapen masih dianggap penting dan perlu “diselamatkan”. Timbul pertanyaan, jadi selama ini Laporanke OJK yang membuat klaster Dapdalam Kelas IV, III, II, dan I itu apakah tidak menjadi referensi tingkat Kesehatan Dapen? Semoga koordinasi akan semakin baik, sehingga data-data tersebu tbisa saling mendukung untuk kroscedan verifikasi.
Penerapan UU ini perlu juga men jawab tentang Bapak/Ibu Pembina Dapen, sehingga arus data dan informasiakan menjadi 1 pintu yang nilai tambahnya adalah data tidak berhamburan kepada banyak pihak.
5. Masihkah Dapen Diperlukan?
Dapen sejatinya sangat diperlukan karena membantu negara “ngopeni” para pensiunan dengan pembayaran Manfaat Pensiun bulanan sampai pemilik hak habis. Sebab jika pensiunan meninggal, masih terbuka hak bagi janda/duda/ anak, sesuai regulasi yang berjalan.
Jika anak sudah berusia 21 tahun atau sudah bekerja atau maksimal 25 tahun namun belum bekerja/masih sekolah, maka hak masih diterimakan. Ini semacam social security bagi keluarga Indonesia. Di sisi lain, ada opini berkembang bahwa Dapen bisa saja menghilang dari Indonesia karena eksistensinya telah digantikan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Adanya varian JHT (Jaminan Hari Tua), JP (Jaminan Pensiun), dan JK (Jaminan Kematian), sampai JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), adalah produk paling lengkap dari Dapen ala BPJS Ketenagakerjaan. Pertanyaannya, mampukah BPJS Ketenagakerjaan mengambil alih peran Dapen selama ini? Bagaimana dengan banjir data yang bahkan Dapen sendiri masih perlu banyak berbenah dari sisi otentifikasi dan validasi data kepesertaan secara berkesinambungan? UU ini seharusnya menjadi proteksi atas keberadaan Dapen baik Swasta maupun BUMN, sehingga ke depan focus kepada peningkatan kesejahteraan senior citizenship (pensiunan) akan dapat semakin baik. UU ini juga membutuhkan sosialisasi lebih lanjut, sebab Sebagian pengelola Dapen bahwa sambil bercanda berkata, “Jangan-jangan Dapen akan berubah menjadi Unit Pembayaran Manfaat Pensiunan saja, bukan sebagai entitas yang mandiri.”.